Beri Dampak Ekonomi dan Lingkungan, Kopi Sedayu Miliki Cita Rasa Premium Khas Ngebel
PONOROGO (KORAN KRIDHARAKYAT.COM) - Ngebel tidak hanya terkenal dengan pesona wisata alamnya. Kopi Sedayu hasil budidaya petani di Desa Talun Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo kini naik daun dengan cita rasa yang khas. Apa pasal? Pohon kopi di Dusun Sedayu itu ditanam bersanding dengan pohon aren yang penghasil gula.
Ada peran lebih Suliono, petani sekaligus penyuluh swadaya di Desa Talun, yang mengembangkan Kopi Sedayu sejak 2018 lalu. Dia membiasakan para petani agar memetik saat buah kopi matang sempurna dengan warna merah cerah. “Agar menjadi single origin yang termasuk kopi jenis premium,” kata Suliono, Selasa (23/9/2025).
Kata Suliono, robusta dari Sedayu cenderung memiliki cita rasa manis. Sedangkan arabikanya tidak terlalu asam atau terlalu pahit dengan nuansa leci atau gula aren. “Karena pohon kopi ditanam di bawah pohon aren,” terangnya.
Sementara itu, dia sedari awal ingin mengembangkan Kopi Sedayu sebagai kopi speciality atau kopi premium dengan metode pengolahan yang modern. Tercatat 45 petani kopi di Dusun Sedayu yang juga membudidayakan tanaman kopi. “Luasan lahannya mencapai 27 hektare dengan 60 persen berada di lahan produktif milik Perhutani,” jelasnya.
Suliono juga menginisiasi terbentuknya kelompok petani gula aren yang sekaligus membudidayakan tanaman kopi. Anggota paguyuban sengaja memetik buah kopi ketika sudah matang sempurna hingga menjadi komoditas perkebunan unggulan. “Buah kopi yang matang sempurna menyimpan kadar gula lebih tinggi, kualitas biji lebih baik, rasanya lebih bervariasi, dan harga jual tinggi,” rincinya.
Sekarang ini kesibukan Suliono dan kelompoknya bukan hanya bertani. Mereka juga menampung hasil panen petani kopi yang awalnya langsung menjual ke pasar dengan harga murah. Dusun Sedayu kini mengolah hasil panen kopi sendiri. “Dukungan Perhutani melalui KTH (kelompok tani hutan) semakin memudahkan pemasaran serta memperkuat kelembagaan petani,” ungkapnya.
Selain mampu menggerakkan roda ekonomi, budidaya kopi dan aren ternyata juga berkontribusi pada konservasi lingkungan. Dua jenis tanaman itu mengikat cadangan air tanah. Atas dedikasinya, Suliono menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Timur sebagai Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat pada Juli 2025 lalu. “Kami sering diundang ikut pameran di Surabaya, Jakarta, Jogja, dan Bandung. Kesempatan ini sekaligus menjadi sarana promosi untuk Kopi Sedayu,” ujar Suliono.
Selanjutnya, petani kopi di Desa Talun juga mendapat dukungan corporate social responsibility (CSR) dari PLTA Ngebel yang dikelola oleh Unit Pembangkitan Brantas, PT PLN Nusantara Power. Suliono mengakui cukup kesulitan mengubah pola pikir petani agar bersedia memetik buah kopi merah cerah pertanda matang sempurna. Padahal, harganya lebih mahal sekitar 40 persen. Harga buah kopi campuran di kisaran Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per kilo. Sedangkan harga kopi petik merah Rp14.000–16.000 per kilogram. “Petani yang sudah sepuh cenderung sulit menerima perubahan pola petik ini,” ucap Suliono.
Kendati belum semua petani beralih ke petik merah, Suliono bersama kelompoknya tetap menampung seluruh hasil panen kopi. Ibu-ibu di Dusun Sedayu mendapat tugas melakukan proses sortir basah setiap hari selama empat bulan masa panen. “Kami mampu melakukan roasting dua kuintal Kopi Sedayu setiap bulan,” ujar Suliono.
Pemasaran Kopi Sedayu sudah merambah luas melalui toko daring. Suliono berharap Kopi Sedayu menjadi bagian dari variasi kopi Nusantara yang dapat bersaing di pasar domestik maupun internasional. “Agar semakin banyak orang mengenal cita rasa khas Kopi Sedayu sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani,” pungkas Suliono. Demikian sebagaimana diinformasikan oleh Dinas Komunikasi Informasi dan Statistik Kabupaten Ponorogo. (KR-FEB/AS)