BUKU MENJADI BUNGKUS TEMPE: REFLEKSI HARI BUKU NASIONAL
Oleh : Agnes Adhani
Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Tidak
banyak orang tahu bahwa sudah 22 tahun Indonesia menetapkan tanggal 17 Mei
sebagai Hari Buku Nasional dengan kegiatan untuk memperingati pentingnya budaya
baca. Kondisi budaya baca Indonesia sangat rendah, Hasil survey 2020, Indonesia
menduduki urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei, sungguh memprihatinkan.
Buku menyediakan rekaman pengetahuan dan menyimpang kekayaan peradaban yang harus ditanamkan dan ditumbuhkembangkan sejak dini dalam keluarga. Tripusat Pendidikan (keluarga-sekolah-masyarakat) perlu memiliki keprihatinan bersama dalam menyikapi rendahnya budaya baca dan beralih kepada budaya internet yang instan dan hanya menyasar permukaan yang dangkal. Kedalaman ilmu menjadi kurang bermakna.
Kondisi memprihatinkan ini menggejala secara nasional. Gunung Agung sebagai toko buku yang agung setelah sekian lama mati suri akhirnya memutuskan untuk gulung tikar, demikian juga sekian banyak toko buku yang ada di mall-mall semakin memprihatinkan dan menyempitkan areal dan akhirnya tutup juga. Bazar dan pameran buku yang dua puluh tahun lalu menggemparkan dan menarik animo Masyarakat semakin redup dan hilang karena pergeseran budaya baca menjadi budaya digital dan internet.
Kegiatan peringatan Hari Buku Nasional dengan (1) gerakan membeli buku, (2) gerekan berkunjung ke perpustakaan, (3) gerakan donasi buku, dan (4) kampanye gerakan membaca buku lewat media sosial perlu digaungkan dan dimasyarakatkan. Kurikulum Merdeka yang mengutamakan literasi dan numerasi sebagai fondasi penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya sungguh harus diungkit sehingga bangkit dan menjadi kebutuhan mendasar semua anak bangsa.
Gerakan literasi di sekolah diharapkan membawa angin segar bagi peningkatan literasi bagi generasi muda dengan pemantauan dan terciptanya budaya dan habitus membaca dengan kritis dan bermakna.
Pergeseran budaya kelisanan menjadi budaya baca, menghadirkan pendokumentasikan wacana lisan menjadi wacana tulis. Karya sastra lisan terdokumentasikan. Akhirnya budaya baca menjadi budaya digital tentunya tidak membunuh dan mengusangkan yang terdahulu, namun bisa bersanding, bukan bertanding. Perubahan buku cetak fisik menjadi buku digital dan buku pdf hendaknya memperkaya khasanah perbukuan Indonesia, bukan menyingkirkan buku cetak yang ada sehingga berdebu dan menjadi masa lalu. Keterampilan membaca dan memirsa pada era digital masih tetap dibutuhkan secara kritis dan kreatif agar tidak “memakan nasi mentah” informasi dan pengetahuan yang ditemukan di dunia internet. Kita tetap dituntut menanak nasi, mendinginkannya, dan mengunyah, sehingga maknanya sungguh bermanfaat.
Gerakan perpustakaan rumah tangga dengan model bapak-ibu yang memberi contoh membaca dan menyediakan bahan bacaan yang menarik harusnya menjadi program pemerintah dan masyarakar, sehingga kuantitas dan kualitas manusia Indonesia yang kritis dan kreatif sungguh tercipta.
Pemberian hadiah berbagai even pertandingan dan perlombaaan berupa buku, penyediaan bahan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan pemustaka, apresiasi terhadap penggiat literasi sangat diharapkan. Pemerintah perlu mempertimbangkan hal ini. Insyaallah buku tidak lagi dianggap sebagai “sampah” yang “dipertimbangkan” dalam arti ditimbang untuk dijual kepada tukang rongsok, menjadi bungkus tempe dan cabai.
Selamat menyambut Hari Buku Nasional dan tetap menjadikan buku sebagai jendela ilmu. Semangat. (*)

