Warga Pacitan Kenang Leluhur Dengan Saling Lempar Cengkir, Tradisi Ceprotan Lestari di Desa Sekar
PACITAN (KORAN KRIDHARAKYAT.COM) - Upacara adat ceprotan tetap terjaga kelestariannya hingga kini. Meski digelar saban tahun, antusiasme penonton tidak pernah surut.
Ternyata, ada kisah di balik tradisi tersebut. Matahari beranjak ke peraduannya. Lapangan Desa Sekar, Donorojo, semakin ramai. Dua kelompok massa berbaju serba hitam berjajar rapi di dua sisi lapangan. Tak berselang lama, suara teriakan menggema. Itu pertanda ‘perang’ telah dimulai.
Kedua kelompok tersebut langsung saling lempar ratusan cengkir. Bakal buah kelapa yang telah dikuliti itu direndam beberapa hari hingga lunak. Dari keranjang bambu cengkir-cengkir itu dilemparkan kedua kelompok ke arah ingkung (ayam panggang utuh). Hingga, amunisi ‘perang’ itu ludes. Itulah prosesi upacara adat ceprotan yang rutin digelar warga setempat setiap Senin Kliwon, bulan Longkang atau Sela (kalender Jawa). "Dengan tradisi ini diharapkan masyarakat Desa Sekar gemah ripah loh jinawi (subur makmur),’’ kata Kepala Desa (Kades) Sekar Miswandi Senin (13/5) lalu.
Tradisi ini merupakan kegiatan bersih desa setempat untuk mengenang kisah asmara Dewi Sekartaji dan Panji Asmorobangun. Pendahulu yang diyakini berperan atas terbentuknya Desa Sekar. Kisah itu bermula dari pengembaraan Ki Godek dan Dewi Sekartaji. Konon, dahulu, wilayah Pacitan bagian barat ini merupakan hutan belantara.
Datanglah seorang pengembara tua bernama Ki Godek. Dia lantas babat alas untuk membuka lahan. Dia bermaksud mendirikan peradaban, rumah tinggal, serta lahan pertanian. Dari sini filosofi ceprotan dipercaya menjadi cikal bakal terbentunya Desa Sekar. ‘’Dari kisah ini, sumber air di desa ini melimpah dan peradaban terbentuk,’’ ujarnya.
Di tengah perjalanan Dewi Sekartaji berkelana mencari kekasihnya Panji Armorobangun bertemu Ki Godek di Desa Sekar. Dewi Sekartaji yang tengah haus minta Ki Godek mencarikan air kelapa muda untuk diminum. Permintaan itu pun dipenuhi. Namun, Dewi Sekartaji tidak menghabiskannya. Dia malah menuangkan sisa air kelapa muda ke tanah hinga menjadi sumber air yang melimpah.
Tradisi ceprotan, sebut dia, menuntun orang untuk berusaha mencapai tujuan hidup. Saling tolong menolong diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Doa yang merupakan pengharapan padaSang Pencipta juga sangat penting dalam menggapai cita-cita.
Sedangkan, ingkung melambangkan tujuan setiap usaha pasti ada hasilnya. Bupati Pacitan Indrata Nurbayu Aji yang juga turut hadir mengapresiasi tradisi ini yang masih terjaga. Dia berharap tradisi ini dapat memberikan berkah bagi masyarakat sekitar. Apalagi juga digelar pentas budaya selama tiga hari berturut-turut. "Harapannya lebih diakui lagi tidak hanya tingkat kabupaten namun juga tingkat nasional,’’ tuturnya. Demikian sebagaimana diinformasikan oleh Radar Madiun. (KR-Wahyu/AS)

