Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

JEJAK RINDU DARI DHOKI KE KOTA GADIS



Oleh : Viktoria Aso

SETIAP memasuki awal Desember, hati Arim selalu terasa penuh sesak oleh rindu yang jauh dari kata sederhana. Di Madiun kota perantauannya ia sering duduk memandangi langit sore sambil membiarkan pikirannya kembali ke kampung kelahirannya: Kampung Dhoki, Desa Ua, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kampung kecil yang berdiri di atas bukit tandus, beralaskan tanah merah, dan dikelilingi angin kering yang tak pernah berhenti berhembus.

Di kampung itu, rumah-rumah berdiri jarang, suara ayam dan kambing bercampur dengan desir angin, dan sore hari selalu ditutup dengan semburat jingga yang jatuh di pucuk bukit. Dari tempat sederhana itulah perjalanan panjang Arim dimulai perjalanan yang bukan hanya memisahkan jarak, tetapi juga merobek perasaan antara ia dan ibunya.


Malam Perpisahan

Malam sebelum keberangkatan, ibunya duduk di ruang tengah sambil melipat pakaian Arim dengan perlahan. Setiap lipatan seolah menyimpan doa, kecemasan, dan cinta yang tak pernah ia ucapkan lantang.
“Pergi, Nak. sekolah yang baik. Jangan takut lihat dunia,” katanya sambil tersenyum tipis. Namun suara itu getir, seolah menahan sesuatu yang ingin pecah.Arim hanya bisa menjawab, “Mama kuat, kan?” Ibunya mengangguk, meski matanya berkaca-kaca. Arim tahu: kepergiannya bukan hanya tentang dirinya tetapi juga tentang keberanian ibunya merelakan sesuatu yang paling berharga.


Dari Dhoki ke Aemere: Jalan Berdebu yang tak Pernah Lupa

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari naik, Arim turun dari Dhoki dengan Pic Up. Jalanannya sempit, berbatu, dan berkelok mengitari kebun jagung serta pohon-pohon kemiri milik warga. Angin pagi membawa bau tanah basah dan asap tungku dari dapur-dapur rumah penduduk dan turun di Mauponggo.

Dari Mauponggo, ia menumpang mobil menuju Pelabuhan Aemere pelabuhan kecil yang menjadi penghubung orang-orang Flores untuk menyeberang ke Jawa. Perjalanannya memakan waktu sekitar dua jam, melewati pinggiran hutan kecil, perkampungan sunyi, dan sesekali melihat laut biru dari kejauhan.

Saat sampai di Aemere, langit mulai memanas. Kapal mulai merapat. Hatinya berdebar seakan ia tahu, begitu kapal bergerak, ia benar-benar meninggalkan pangkuan ibunya.


Perjalanan Laut: 2 hari 2 malam bersama rindu

Kapal berangkat dari Pelabuhan Aemere menuju Tanjung Perak, menempuh perjalanan panjang sekitar 2 hari hingga 2 malam.
Di dalam kapal, Arim duduk diam memandangi laut yang tak berujung. Ombak naik-turun seperti mengayunkan hatinya kadang ia merasa kuat, kadang lemas oleh rindu. Di malam hari, angin laut menusuk tulang, dan Arim hanya memeluk tasnya yang berisi dompet dan HP yang di simpan oleh ibunya.

Kapal akhirnya bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak sekitar pukul 01.00-01.30 pagi. Surabaya masih gelap, tetapi pelabuhan sudah riuh oleh teriakan buruh, suara klakson, dan aroma solar yang pekat. Bagi Arim anak kampung Dhoki, Surabaya tampak terlalu besar, terlalu cepat, terlalu keras.


Pagi ke Madiun: Menjemput Masa Depan

Keesokan pagi, sekitar pukul 08.00, Arim berangkat ke Terminal Bungurasih. Ia menaiki bus patas menuju Madiun perjalanan yang memakan waktu sekitar 2 jam 30 Menit. Sepanjang jalan, sawah-sawah menghijau sejauh mata memandang. Sesekali terlihat sungai jernih, deretan rumah rapi, dan langit biru yang sangat berbeda dari langit kering di Dhoki. Arim menyandarkan kepala ke jendela, membiarkan angin AC dan rasa syukur memenuhi dadanya. Bus tiba di Madiun sekitar pukul 10.30. Kota itu terasa lebih tenang daripada Surabaya. Jalanannya bersih, pepohonan trembesi menaungi trotoar, dan pedagang pecel menebarkan aroma khas yang menenangkan.


Kehidupan Baru di Kota Gadis

Arim menuju kosnya di Jalan Manggis No. 10, sebuah kamar sederhana yang hanya berisi kasur tipis, meja kayu, dan jendela kecil yang menghadap gang sempit.Di sanalah ia memulai hidup sebagai mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Madiun.


Rindu yang Tidak Pernah Selesai

Perjalanan dari Dhoki ke Madiun mengajarkan Arim bahwa merantau bukan soal meninggalkan tempat, tetapi meninggalkan pelukan. Jarak menumbuhkan rindu, dan rindu mengajarinya betapa besar cinta ibunya.

Setiap Desember, ketika angin mulai dingin, Arim selalu berbisik dalam hati:
“Saya akan pulang, Ma. Suatu hari nanti, saya akan pulang membawa cerita yang membuat Mama bangga.”

*)Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya kampus Kota Madiun

IKLAN

Recent-Post