SETIAP memasuki awal
Desember, hati Arim selalu terasa penuh sesak oleh rindu yang jauh dari kata
sederhana. Di Madiun kota perantauannya ia sering duduk memandangi langit sore
sambil membiarkan pikirannya kembali ke kampung kelahirannya: Kampung Dhoki,
Desa Ua, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kampung kecil yang berdiri di atas bukit tandus, beralaskan tanah merah, dan
dikelilingi angin kering yang tak pernah berhenti berhembus.
Di kampung itu,
rumah-rumah berdiri jarang, suara ayam dan kambing bercampur dengan desir
angin, dan sore hari selalu ditutup dengan semburat jingga yang jatuh di pucuk
bukit. Dari tempat sederhana itulah perjalanan panjang Arim dimulai perjalanan
yang bukan hanya memisahkan jarak, tetapi juga merobek perasaan antara ia dan
ibunya.
Malam Perpisahan
Dari Dhoki ke Aemere:
Jalan Berdebu yang tak Pernah Lupa
Pagi-pagi sekali,
sebelum matahari naik, Arim turun dari Dhoki dengan Pic Up. Jalanannya sempit,
berbatu, dan berkelok mengitari kebun jagung serta pohon-pohon kemiri milik
warga. Angin pagi membawa bau tanah basah dan asap tungku dari dapur-dapur
rumah penduduk dan turun di Mauponggo.
Dari Mauponggo, ia
menumpang mobil menuju Pelabuhan Aemere pelabuhan kecil yang menjadi penghubung
orang-orang Flores untuk menyeberang ke Jawa. Perjalanannya memakan waktu
sekitar dua jam, melewati pinggiran hutan kecil, perkampungan sunyi, dan sesekali
melihat laut biru dari kejauhan.
Saat sampai di Aemere,
langit mulai memanas. Kapal mulai merapat. Hatinya berdebar seakan ia tahu,
begitu kapal bergerak, ia benar-benar meninggalkan pangkuan ibunya.
Perjalanan Laut: 2 hari
2 malam bersama rindu
Kapal akhirnya
bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak sekitar pukul 01.00-01.30 pagi. Surabaya
masih gelap, tetapi pelabuhan sudah riuh oleh teriakan buruh, suara klakson,
dan aroma solar yang pekat. Bagi Arim anak kampung Dhoki, Surabaya tampak
terlalu besar, terlalu cepat, terlalu keras.
Pagi ke Madiun:
Menjemput Masa Depan
Keesokan pagi, sekitar
pukul 08.00, Arim berangkat ke Terminal Bungurasih. Ia menaiki bus patas menuju
Madiun perjalanan yang memakan waktu sekitar 2 jam 30 Menit. Sepanjang jalan,
sawah-sawah menghijau sejauh mata memandang. Sesekali terlihat sungai jernih,
deretan rumah rapi, dan langit biru yang sangat berbeda dari langit kering di
Dhoki. Arim menyandarkan kepala ke jendela, membiarkan angin AC dan rasa syukur
memenuhi dadanya. Bus tiba di Madiun sekitar pukul 10.30. Kota itu terasa lebih
tenang daripada Surabaya. Jalanannya bersih, pepohonan trembesi menaungi
trotoar, dan pedagang pecel menebarkan aroma khas yang menenangkan.
Kehidupan Baru di Kota
Gadis
Arim menuju kosnya di
Jalan Manggis No. 10, sebuah kamar sederhana yang hanya berisi kasur tipis,
meja kayu, dan jendela kecil yang menghadap gang sempit.Di sanalah ia memulai
hidup sebagai mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus
Madiun.
Rindu yang Tidak Pernah
Selesai
Perjalanan dari Dhoki
ke Madiun mengajarkan Arim bahwa merantau bukan soal meninggalkan tempat,
tetapi meninggalkan pelukan. Jarak menumbuhkan rindu, dan rindu mengajarinya
betapa besar cinta ibunya.
*)Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya kampus Kota Madiun
