Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

MULIH ‘PULANG’

Oleh : Agnes Adhani *)

 Mulih ‘pulang’ adalah suatu kata yang memiliki makna bukan sekadar ‘kembali setelah bepergian’, namun ada nuansa lebih dalam tentang nostalgia, tentang tanah kelahiran dan rindu akan sesuatu yang semakin hilang. Tanah kelahiran, “di sana tempat lahir beta”, memiliki ikatan yang tidak bisa dibahasakan, tidak ada kata-kata yang mampu menggambarkan suasana batin yang melingkupinya. Orang tua yang rindu kepada anak-anaknya yang merantau, ngupaya upa, di tempat yang jauh dari tempat tinggal awal, rumah keluarga, akan bertanya, “Kapan mulih?”’Kapan pulang?’, Jarang yang menggunakan “Kapan tilik wong tuwamu?” ‘Kapan menengok orang tuwamu’ atau “Kapan balik?”. ‘Kapan kembali?’ Hal ini erat hubungannya dengan makna mudik ‘pulang sementara saat lebaran atau hari raya’ dengan berbagai pernik-perniknya.

Novel Pulang (Leila S. Khudori, 2012). Novel ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Home), Prancis (Retour), Belanda (Naar Huis) dan Italia (Ritorno a Casa). Novel Pulang ini memenangkan prosa terbaik Khatulistiwa Award 2013 dan dinyatakan sebagai salah satu dari “75 Notable Translations of 2016  oleh World Literature Today”. Kisah suram bangsa ini terkait dengan PKI dan para “tahanan politik” atau oknum yang menjadi statelessness. Karena “korban zaman” tokoh dalam novel ini menjadi  tak bernegara (statelessness) istilah hukum mengenai hilangnya kewarganegaraan, atau absennya hubungan pengakuan antara individu dan suatu negara. Pulang diterjemahkan dalam bahasa Inggris home, bukan house menunjukkan makna spiritual yang berbeda antara home dan house. House berkonotasi dengan bangunan fisik yang bisa saja rusak, roboh, dan kosong suwung, sedangkan home mengisyaratkan suasana damai, nyaman, tempat paling aman untuk berdiam sekaligus mengakualisasikan diri secara sederhana dan jujur.

Walaupun sudah menjadi penduduk tempat tinggal sekarang, membangun istana yang indah dan megah, Ketika pulang, apalagi di kampung halaman, kemegahan dan kemewahan itu seakan sirna. Kembali tidur kruntelan ‘berdesakan’ tanpa kasur busa yang empuk, bahkan hanya berlapiskan tikar daun mendong, berselimut kain jarik tipis, mampu menghadirkan nostalgia indah, tak terlukiskan.

Menikmati makanan ndesa: bubur jangan sambel tumpang, gendar pecel dengan sayur daun adas beraroma minyak kayu putih, nasi jagung dengan urap krokot dan gerih goreng secuwil, ketan kukus dengan ditaburi srundeng, jenang grendul dilumuri kinca dengan harga @ dua/tiga ribu rupiah. Sungguh kenikmatan yang sangat meriah.

Rumah orang tua terasa suwung, karena kedua orang tua sudah surut ing kasedan jati ‘meninggal’. Walaupun ditempati, tetap ada yang kurang. Ada pandangan bahwa rumah orang tua dianggap sebagai keprabon ‘tempat tinggal prabu/raja’, sehingga harus dijaga dan di-uri-uri. Ada rindu anggota keluarga untuk pulang.  Menikmati suasana yang berbeda. Apakah hanya resah orang yang mulai tua merasakan kerinduan seperti ini yang mendesak? Apakah kaum muda yang berkelana mencari ilmu dan bekerja memiliki rasa yang sama? Sungguh perlu refleksi mendalam.

Beberapa mahasiswa luar pulau rindu kampung halaman, tetapi merasa malas pulang, karena harus pergi ke ladang dan noreh ‘mengerat kulit pohon karet untuk ditampung getahnya’. Namun kalau sudah lama di kampung mereka malas untuk kembali mengejar ilmu. Awang-awangen atau wangwang untuk pulang atau kembali. Inikah dinamika hidup dan kehidupan?

 

*) Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya kampus Kota Madiun, aktivis perempuan.


IKLAN

Recent-Post