Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

PULANG KAMPUNG VS MUDIK

Oleh : Dra. Agnes Adhani, M.Hum
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Katolik Widya Mandala Madiun

MUKONA sedih melihat dan membaca komentar yang berusaha bernalar dengan nanar serta hujatan dan cacian mengenai perihal pergerakan manusia yang harus dimaknai secara kontekstual dalam kondisi saat ini.
SETAHUN lalu ada iklan seorang anak lelaki kecil yang merindukan ayahnya pulang menjelang lebaran namun tiada kabar. Ia berlagak sebagai ayahnya memakai kumis, berusaha bersuara dengan nada didewasa-dewasakan mengantarkan sang ibu berbelanja. Beduk takbir berkumandang anak merasa kecewa tak bisa merayakan Idul Fitri dalam keluarga inti dan ternyata sang ayah pulang dan memeluknya menumpahkan rindu. KTP ayah ini tentu sama dengan istrinya yang berdomisili di rumah tersebut. Inilah contoh konkret pulang kampung. Pada saat pandemi covid 19 saat ini, sang ayah harus melakukan karantina diri 14 hari, apalagi kalau sang ayah datang dari zona merah pandemi seperti Jakarta atau Surabaya. 

http : ayo bandung.com
HAL INI berbeda dengan pulang kampung seperti iklan kue. Sebuah keluarga terdiri atas bapak-ibu-dua anak pergi berbelanja kue untuk nenek-kakek di kampung. Begitu sampai kue dibuka dalam kegembiraan, atau iklan cat yang menggambarkan keluarga para anak-anak berpatungan beramai-ramai membangun rumah orang tuanya. Atau kisah nyata menjelang lebaran disediakan pos pantau arus mudik dengan berbagai tempat istirahat dan kisah kelam enam tahun lalu di Brebes dengan penumpukan kendaraan yang tak terurai dan menimbulkan korban tak terkira. Itulah contoh nyata mudik. Bayangkan bagaimana bila setiap desa harus menyediakan tempat karantina diri 14 hari jika ada lima  keluarga saja yang mudik terdiri atas bapak-ibu-dua anak.

http : republika.com
DUA PULUH tempat karantina, belum termasuk logistik dan pengawasnya. Belum lagi saat lebaran setelah sholat Idulfitri, rombongan keluarga ziarah kubur leluhur lanjut sungkem kepada nenek-kakek, berpindah ke rumah nenek-kakek buyut, budhe-pakdhe  bupuh-pakpuh, bulik-paklik,  yang lantas dilanjut merajut kegembiraan di tempat rekreasi. Bagaimana dan siapa yang sanggup memantau pergerakan manusia keluar masuk kota dan desa yang seperti itu. Pengatur lalu lintas selama ini di setiap pos pantau saja sudah membuat polantas harus didukung polisi yang lain lewat operasi ketupat dan dishub harus lintang pukang mengatur terminal, bandara, stasiun, pelabuhan sebagai bukti pelayanan terhadap warganya. Makna pulang kampung dan mudik harus dimaknai secara kontekstual, bukan tekstual dan Kamus Besar Bahasa Indonesia menjadi rujukan yang baru dibuka saat mau mem bully pernyataan presiden dan dijadikan sebagai preseden yang menempatkannya sebagai objek kebencian. Memaknai secara kontekstual seperti ini juga dipakai sebelumnya dalam memaknai fiksi, ustadz, ustadzah, habib, dan sejenisnya
MARI kita menepi, memberi empati kepada pemerintah yang telah berjuang melayani masyarakat. Mari belajar menghormati orang tua, pejabat, terutama kepada kepala negara yang harus menggunakan kepalanya untuk memikirkan kesejahteraan seluruh bangsa dan masih direcoki oleh lawan-lawan  politiknya, ditambah lagi oleh jari rakyat yang membuat gaduh dan ricuh.
MUKONA jadi ingat permainan bentengan. Kalau kita mau ikut permainan itu kita harus sportif dan jujur dengan mencari teman yang sepadan untuk jadi lawan yang kemudian "pingsut" untuk menentukan bisa bergabung di kubu mana. Gebag, seimbang, setara syarat utama menentukan lawan main. Ketika mulai berkejaran, dimulai dari yang terkecil atau terlemah lari dikejar oleh teman yang setara begitu seterusnya dengan tetap ada yang menjaga bentengnya, tonggak tempat aman untuk kembali setelah lelah berkejaran. Sungguh filosofi permainan bentengan ini telah hancur dan luntur. Bagaimana setiap orang dengan lacur bertutur tentang seseorang yang layak dihormati. Cara pengungkapan yang kasar liar, bahkan barbar terlontar. Mana kesantunanmu wahai bangsa Indonesia yang dikenal ramah tamah, santun budi bahasanya? 

Suasana kampung, http : dakwatuna.com

MARI di awal Ramadan kali ini kita gunakan jari kita menari di sela-sela butir tasbih agar lebih khusuk beribadah, membungkuk semakin rendah, berdzikir semakin indah, bersalawat sebagai khalwat, agar amal ibadah kita diterima di hadapan Allah tanpa lupa bersedekah kepada sesama. Kita punya waktu lebih untuk semakin hening dan wening merenungi makna puasa di mana pandemi ini. SELAMAT menjalankan ibadah puasa Ramadan seraya melawan nafsu yang berkelindan, agar pada akhir ibadah menjadi indah menyambut Idulfitri dengan hati yang suci murni. Salam sehat. (*)

IKLAN

Recent-Post