Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

KARTIJEM MENGENANG KARTINI


Agnes Adhani
(agnes.adhani@widyamandala.ac.id)

KARTIJEM
, gadis pinggir hutan jati di Jawa Timur bagian barat ini menghadapi hidup yang tidak mudah, ia semakin tidak njenjem ‘tenang, damai’ ketika ditanya mau jadi apa kalau tidak mau menikah dalam usia hampir tiga tuluh tahun. Nama Kartijem diberikan kepadanya agar bisa seperti RA Kartini tetapi njenjem hidupnya. Hatinya selalu goreh, ‘gelisah’ melihat teman-temannya yang menikah muda namun tidak bahagia. Apalagi saat ia membaca buku karangan Pramudya Ananta Toer.


BUKU dengan judul Panggil Aku Kartini Saja mengungkap kecerdasan gadis dua belas tahun ya 12 tahun yang lulus SD lebih dari 120 tahun yang lalu. Anak kecil ini begitu peduli melihat perempuan yang terkurung dan terkungkung oleh budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan di ranah domestik, sekitar sumur, dapur, kasur dengan harus pasrah, sumarah, nrima, tunduk, patuh, tuhu, bekti kepada orang tua dan suami setelah menikah. Perempuan tidak ada pilihan lain, selain menerima nasib tunggal menjadi istri dan ibu yang berperan sebagai babu dan batur. Ada ungkapan awan jadi theklek bengi jadi lemek ’siang jadi alas kaki, malam jadi alas tidur’. Menerima nasib mendapatkan suami seperti membeli kucing dalam karung. Terima nasib sebagai kodrat.


BERKELUARGA atau menikah adalah kehendak bebas dua orang lelaki dan perempuan yang seharusnya dewasa, siap secara fisik, psikis, ekonomis, sosial, religius, hukum, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan sunah: membina keluarga sakinah, mawadah, dan warohmah. Modal ini yang harus dikuatkan, agar keluarga memiliki ketahanan. Sebagai analogi sebuah rumah akan kuat harus dibangun dengan pondasi yang kuat, bukan tiangnya yang dikurangi. Tiang bangunan keluarga adalah suami dan istri yang sejajar dan setara dan pondasinya adalah suami dan istri yang dewasa, merdeka, dan beriman. Ketahanan keluarga tidak bisa dibentuk hanya dengan  peran lelaki dan perempuan seperti pada zaman prasejarah. 


PENGUATAN keluarga bisa dilakukan sejak kursus pranikah dengan pelajaran calon pengantin dan memberi bekal pengetahuan, pemahaman tentang hidup dan kehidupan termasuk nilai religius untuk secara matang mengambil keputusan untuk membina keluarga.


PADA masa kecil, Kartijem sering mendengar  lelaki memarahi istrinya ”istri tidak bekerja, cuma bisa menghabiskan uang, perempuan tidak berguna”, diikuti piring terbang dan bunyi tamparan serta jerit tertahan. Hal itu yang membatukan semangat Kartijem untuk tetap sekolah sebagai bekal untuk merdeka dan  bekerja. Seorang perempuan dewasa yang merdeka tidak harus memilih menjadi ibu rumah tangga atau perempuan karier, perempuan bisa memilih keduanya. Pilihan itu bukan pilihan mati atau hidup, yang harus dipilih salah satu. Peran ganda perempuan yang diindoktrinasikan selama tiga puluh tahun lebih pada masa lalu kami terima dengan pengabdian penuh.


ADA yang sedikit melegakan Kartijem adalah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kartijem berharap tidak ada lagi perempuan, apalagi anak perempuan dijadikan objek dan korban kebiadaban lelaki yang tidak mampu mengelola syahwatnya. Tidak ada lelaki biadab seperti Herry Wirawan yang melenggang dan didukung oleh Komnas HAM dengan mengabaikan HAM 13 sastriwati yang ternoda. Hiduplah dengan jenjem tentrem Kartijem, karena Kartini sudah meletakkan dasar martabat perempuan yang merdeka, Selamat HARI KARTINI 2022. (*) .

IKLAN

Recent-Post