NGENTHIT DAN MBATHI BIBIT KORUPSI (REFLEKSI HAKORDIA 2025)
Agnes Adhani*)
KORUKSI adalah kejahatan luar biasa (extraordinary
crime) yang mendunia. Timbul kesadaran dunia untuk mencegah, mereduksi,
meminimalkan, dan menindak secara tegas pelaku kesahatan ini. Sejak 22 tahun
yang lalu, 9 Desember ditetapkan sebagai Hakordia (Hari Antikorupsi Sedunia).
Ungkapan bahwa korupsi sudah menjadi budaya tidaklah benar. Ungkapan itu hanya
sebatas mengerdilkan makna korupsi yang meraja lela dan dianggap lumrah,
wajar. Mengapa korupsi sampai seperti ini? Karena anak belajar sedikit-demi
sedikit tingkah orang tua dan orang dewasa sekitarnya dan mereka hanya
menirunya.
NGENTHIT ‘mengambil barang kecil dengan sembunyi-sembunyi sedikit demi sedikit’, selain
untuk istilah ‘itik/bebek yang bertelur di luar kandang’. Mirip dengan ngenthit
adalah mbathi. Mbathi ‘mengambil keuntungan, mencatut’. Perilaku ngenthit
dan mbathi sebagai perilaku yang berkonotasi negatif ini seharusnya
tidak diizinkan tumbuh dalam keluarga. Keluarga bukan bakul yang mengejar
untung, melainkan tempat menanamkan dan menumbuhkembangkan nilai kebenaran dan
kejujuran. Perilaku ini bila tidak
ditindak tegas atau ditegur sejak awal akan merembet ke tindakan yang lebih
besar, yaitu korupsi. Apalagi perilaku koruptif itu dipertontonkan para orang
tua, guru, dan pejabat secara nyolok mata ‘terang-terangan’.
SALAH satu usaha
menekan korupsi adalah peringatan Hakordia setiap tahun dengan disertai slogan
atau tagline. Slogan anti korupsi yang paling melekat dalam pikiran kita
adalah “Berani jujur hebat” yang digunakan pada kampanye Hari Antikorupsi 2011
dan “Katakan tidak pada korupsi” sebagai tagline Partai Demokrat pada
pemilu 2014 yang tidak lama kemudian tokoh partai tersebut terciduk dalam kasus
korupsi, salah satunya Angelina Sondakh yang harus mendekam di penjara selama
10 tahun. Berikut beberapa slogan antikorupsi lainnya.
1. Berantas korupsi! Selamatkan bangsa.
2. Stop Korupsi (2017)
3. Maju lawan korupsi (2019)
4. Satukan aksi, basmi korupsi (tema Harkordia 2025).
5. Ayo bertindak, lapor korupsi.
6. Lawan korupsi. Say no to korupsi
7. Stop korupsi! Selamatkan negeri!
8. Berani jujur.
SLOGAN dan semboyan ankorupsi tertampang di
tempat-tempat umum, mungkin dapat mengedukasi masyarakat, namun ironisnya
pelaku korupsi yang jumlahnya di luar nalar masyarakat awan masih bisa
melambaikan tangan seperti artis penerima piala citra. Bila terciduk
menampilkan wajah santun, religius, dan berperilaku sebagai korban, memelas
dan berkata, “kami dan keluarga kami sedang mendapat ujian dari Tuhan”.
Masyarakat pun permisif, mereka masih bisa diterima di masyakakat, bahkan
menjadi tokoh politik dan memiliki elektabilitas tinggi. Busana dan perilaku
religius hanya digunakan sebagai kedok untuk menutupi keserakahannya, perilaku
jahat. Semoga RUU Perampasan Aset sudah disusun sejak 2008, diinisiasi masuk pembahasan DPR sejak 2021,
dan baru masuk prolegnas pada 2025 dapat menjadi alat pencegahan dan penanganan
kasus korupsi. RUU Perampasan Aset menjadi Undang-Undang kita tunggu bersama merupakan
oase penegakan hukum bagi pelaku korupsi.
PENGGUNAAN bahasa dalam slogan antikorupsi merupakan
variasi penggunaan bahasa yang khas. Semoga isi slogan bukan hanya omong kosong
atau lip service, melainkan sungguh-sungguh dapat mencegah dan
meminimalkan perilaku korupsi dimulai dari diri sendiri dan sekarang juga. Mari kita gunakan bahasa
Indonesia sebagai pengembang akal budi dan membina kerja sama dengan baik,
benar, dan santun, termasuk untuk mencegah korupsi dan mendukung gerakan antikorupsi.
SELAMAT Hakordia 2025: semoga “Satukan aksi, basmi
korupsi!” betul-betul ditindaklanjuti dengan aksi nyata oleh seluruh komponen
bangsa.
*) Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya kampus Kota Madiun

