Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

RINDUKU PADA RABUKN’G KARIKN’G



Oleh : Anggelina Nia Diri 


SETIAP kali libur semester mulai mendekat, kerinduan terhadap kampung halaman menyeruak dari hati paramahasiswa asal Kabupaten Landak, Kalimantan Barat yang sedang menuntut ilmu di Madiun, di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya kampus Kota Madiun. Salah satunya Leman, pemuda asal Kalimantan barat yang sedang mengulik ilmu di Madiun, Jawa Timur. Di tengah kesibukan menjalani studi di UKWMS, ia sering teringat aroma dapur rumah yang hangat, suara ibu menjerang santan, dan percakapan sederhana di ruang makan. Dari sekian banyak hal yang dirindukannya, ada satu yang paling kuat membuatnya melangkah pulang yaitu masakan rebung kering (umbut bambu) khas Dayak Kanayatn, yang menjadi hidangan kesayangan sejak kecil. “Sudah banyak makanan enak di sini, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan rasa rebung kering buatan ibu,” ujarnya saat ditemui di area kampus.


REBUNG kering (umbut bambu), atau dalam Bahasa Dayak Kanayatn disebut rabukn’g karikn’gmerupakan bahan masakan tradisional yang dibuat dari bambu muda atau rebung, yang dikeringkan secara alami di atas asap api kayu.Proses ini menghasilkan aroma smoky yang begitu khas.Melepaskan ingatan pada hutan bambu, tanah basah, dan udara dingin pedesaan selepas hujan tidaklah mudah. Setelah kering, rebung dimasak bersama bumbu serai, kunyit, lengkuas, dan cabai lokal, dengan guyuran santanmenciptakan rasa gurih pedas yang sulit dilupakan. Masakan ini sering disajikan dalam acara adat ataupun sebagai hidangan harian masyarakat Dayak Kanayatn.


NAMUN bagi Leman, rebung kering bukan sekadar makanan tradisional. Setiap kali ia mencium aroma santan dari kantin kampus, kenangan masa kecilnya seketika memunculkan kelebat ingatan akan momen keluarga berkumpul di meja makan, tertawa bersama, ditemani rebung kering, ikan salai, dan nasi ketan. Di situlah ia merasa menemukan rumah dalam makna yang paling sederhana. “Rasanya seperti ditarik pulang,” katanya pelan. Baginya, makanan itu adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara identitas dan perjalanan meraih masa depan.


MEMANG, di perantauan, ragam kuliner modern dengan mudah ditemukan: restoran cepat saji, makanan kekinian, hingga jajanan populer mahasiswa. Namun tidak satu pun yang mampu menggantikan rasa masakan ibu. Di tengah hiruk-pikuk kota, rebung kering menjadi simbol kedekatan keluarga dan akar budaya yang tetap ingin ia genggam. Semakin jauh ia pergi, semakin dekat kenangan itu datang, seolah mengingatkan bahwa seseorang selalu memiliki tempat untuk kembali.


KETIKA dihubungi lewat telepon, Ibu Leman, Yuliana,mengaku ia telah menyiapkan rencana untuk memasak rebung kering saat putranya pulang liburan semester nanti. “Kalau dia pulang, pasti saya memasakkannya. Itu makanan favoritnya sejak kecil,” ujarnya sambil tertawa hangat. Di balik tawa itu tersimpan kasih sayang seorang ibu, yang selalu ingin memastikan anaknya pulang dengan hati yang penuh.


HINGGA tulisan ini diunggah, Leman mengaku sedang menghitung hari menuju akhir semester, menghitung waktu menuju meja makan sederhana tempat rebung kering disajikan panas-panas. Di perut mungkin hanya sekadar makanan, tetapi di hati ia membawa pulang lebih banyak nostalgiacinta keluarga, identitas budaya, dan ingatan yang membuatnya tetap berpijak ketika jauh dari rumah. “Tidak sabar menikmati rebung kering bersama keluarga,” tutupnya dengan senyum haru. Karena bagi para perantau seperti Leman, pulang bukan hanya sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan kembali pada rasa yang membesarkannya. Rasa yang tidak bisa dicabut dan membuat dirinya tercerabut. Tanah tumpah darah dan air yang pernah diteguk tak mungkin membuat seseorang pergi dan hilang, tanpa ada rindu untuk pulang.

*) Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya kampus Kota Madiun.

IKLAN

Recent-Post