Dra. Agnes Adhani, M.Hum
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unika Widya Mandala Madiun
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unika Widya Mandala Madiun
Pemilu sebagai agenda pembangunan politik lima tahunan
bagi bangsa Indonesia mendapatkan atribut keren, yaitu pesta demokrasi. Tepatkah
disebut pesta? Pesta bermakna ’perjamuan makan minum (bersuka ria dan s.ebagainya);
perayaan’, sehingga ada bentuk pesta bujang, pesta dansa, pesta kawin, pesta
panen, pesta olahraga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiatidak ditemukan
bentuk turunan ”pesta demokrasi”.Namun ada lagu yang kembali bergema, terutama
di RRI dan kegiatan yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
Bawaslu.
Pemilihan umum telah memanggil kita/Sluruh rakyat
menyambut gembira/Hak demokrasi Pancasila/Hikmah Indonesia merdeka/Pilihlah
wakilmu yang dapat dipercaya/Pengemban ampera yang setia/Di bawah Undang-Undang
Dasar ’45/Kita menuju ke pemilihan umum.
Pemilihan umum tahun ini berbeda dengan pemilu
sebelumnya, karena pelaksanaan pemilu berbarengan dengan pilpres. Hal ini
menyebabkan pemilihan calon wakil rakyat menjadi kesilep oleh
hiruk-pikuk kontestasi capres dan cawapres yang menegangkan dan menakutkan. Ada
pernyataan ”perang”: perang badar dan people powerdan pernyataan dan
kata-kata kasar, seperti ndhasmu, bajingan, ibu pertiwi
diperkosa, tanah negara dikuasai segelintir orang, bangsa Indonesia 2030 bubar,
partai setan. Bagaimana bisa ”sluruh rakyat bisa menyambut pemilu dengan
gembira” bila mendapatkan informasi yang simpang siur penuh pesimisme.
Menggugah optimisme tidaklah mudah bagi mereka yang sudah dicekoki berita
bohong dan hoaks, apalagi dengan embel-embel tidak masuk surga.
Ada hal menarik yang perlu diungkap, karena perempuan
ternyata tidak dianggap penting dan tidak ”seksi” bagi capres dan cawapres,
termasuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. Hal ini
bisa dibuktikan dengan lima debat capres dan cawapres tidak ada tema yang
menyangkut keberadaan perempuan (dan anak). Bisa kita lihat tema debat capres
dan cawapres, yaitu (1) Hukum, HAM, Korupsi,
dan Terorisme, (2) Energi, Pangan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, dan
Infrastruktur, (3) Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sosial, Budaya, (4)
Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan, Keamanan, serta Hubungan Internasional, dan
(5) Ekonomi, Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi, Perdagangan dan
Industri.
Tema pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak selama
ini tidak pernah disentil bahkan cenderung diabaikan. Ada satu partai politik
yang menyuarakan isue perempuan, yaitu antipoligami ternyata mendapatkan perundungan dalam berbagai
bentuk. Wajah cantuk dan bersuara lantang kelihatannya tidak dibutuhkan oleh
khalayak. Yang heboh justru emak-emak rempong yang menyebarkan berita bohong
yang dipelopori oleh tokoh perempuan yang dua puluh tahun lalu sangat terhormat
dan bermartabat kemudian salah kiblat sehingga dihujat dan dicampakkan.
Kelihatannya perempuan harus berjuang sendiri untuk
mendapatkan martabatnya. Berjuang menjadi legislator yang tangguh tidak cukup
dengan wajah cantik, namun harus cerdas dan cerdik. Selama ini partai politik
menempatkan perempuan semata-mata hanya sebagai pemenuhan peraturan
Undang-Undang terkat dengan keterwakilan perempuan.
Perempuan selalu menjadi korban dua kali: seperti kasus
penganiayaan siswa SMP di Kalimantan dan calon pendeta korban pembunuhan di Sematera Selatan. Media
menjadikan mereka korban kedua kalinya, dengan membeberkan nama dan kronologis
kejahatan yang menimpanya secara vulgar, sedangkan para pelaku ditutupi dengan
inisial dan penutup wajah. Apakah perempuan harus ditempatkan sebagai ”sudah
jatuh tertimpa tangga”? HAM kelihatannya kurang berpihak kepada para korban.
Semoga ”seksi” tidak sekadar dimaknai sebagai ’merangsang
rasa birahi (tentang bentuk badan dan sebagainya)’ melainkan memaknai seksi
sebagai ’sesuatu yang menarik dan layakdiperhitungkan serta diperjuangkan’. Saatnya para perempuan berjuang dan memperjuangkan
nasibnya melalui berbagai jalur dengan bersinergi dan berjejaring, sehingga ibu
pertiwi dan ibu Kartini tersenyum bahagia karena kaumnya menjadi berani,
tangguh, cerdas, bermartabat, tanpa meninggalkan kelembutan seorang ibu.