DUA IBU PERKASA MENGGUGAT
![]() |
Oleh : Agnes Adhani Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia (kampus Kota Madiun) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya |
DUA BULAN terakhir ini, Indonesia dihebohkan oleh dua peristiwa kekerasan yang kontroversial, mencengangkan, dan menghentak rasa kemanusiaan, yaitu kematian Brigadir Joshua Hutabarat (29 November 1994-11 Juli 2022) dan Albar Mahdi (25 Desember 2005-22 Agustus 2022). Tulisan ini tidak berusaha memperkeruh, memperparah, dan memperpanas karut marut pemberitaan dengan dukungan versus hujatan yang membabi buta, yang membuat miris dan giris. Penulis tidak akan menyorot seorang ibu yang bak sosialita meneriakkan pelecehan yang dialaminya dengan penuh drama, walaupun terasa amat janggal dan tak masuk akal. Tulisan ini menyorot sisi yang berbeda, yaitu dua ibu perkasa yang terluka karena putranya meninggal dengan cara tragis.
IBU PERTAMA adalah Ibu Rosti Simanjuntak, ibu dari Brigadir Joshua, seorang guru honorer sebuah SD di Jambi. Tangisan seorang ibu yang kehilangan putranya dan dengan gagah berani dengan tangisan yang membahana membuka peti jenazah putranya. Sungguh seperti babon ‘induk ayam’ yang nglabruk ‘menyerang’ lawan yang mengusik kenyamanan anak-anaknya. Tangisan kedukaan yang menuntut keadilan. Biasanya ibu hanya tertunduk kelu dan menangis pilu memeluk peti jenazah, kalau tubuh tidak kuat akhirnya rubuh dan pingsan. Namun ibu ini sungguh berani mengoyak kelaziman dan berontak menuntut keadilan dan kebenaran. Bahkan sampai meminta presiden untuk menerangjelaskan kasus kematian putranya. Bagi seorang ibu, anak yang sudah dewasa pun tetap anak, sehingga kematian putranya yang tidak wajar pun mampu membuat dunianya seakan runtuh. Salut kepadamu Ibu atas tangis dan perjuanganmu.
IBU KEDUA adalah Ibu Soimah, ibu dari Albar Mahdi, santri pondok pesantren Gontor 1 Ponorogo. Tidak seheroik tangisan Ibu Rosti Simanjuntak, namun Ibu Soimah ini juga berjuang menuntut kejelasan. Anak lanang yang digadhang-gadhang ternyata mati muda. Perjalanan jenazah dari Ponorogo ke Palembang lewat darat bukan perjalanan singkat, kerinduan aakan anaknya menyebabkan ia menguak kain kafan, sehingga terbongkar kebohongan. Surat kematian tidak selaras dengan keadaan.
PERJUANGAN dua ibu perkasa menggugat ketidakjelasan, kebohongan, kebenaran yang didustakan sungguh menggerakkan simpati dan empati banyak pihak. peran media sosial dan media online mampu memprovokasi dan memancing kemarahan warganet yang mulai jengah melihat ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan oleh pihak yang lehih “kuasa” dan memiliki otoritas yang selama ini mampu membungkam kebenaran dan keadilan.
NEGARA dan Pemerintah telah berusaha membentuk komisi nasional untuk perlindungan terhadap warganya dengan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Komnas Perempuan, Komnas Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun dalam menuntut keadilan dan kebenaran orang kecil tetap menjadi korban dan “diinjak” agar diam dan bungkam. Kehadiran Lembaga-lembaga ini sepertinya hanya lip service, abang-abang lambe, sebatas menggugurkan kewajiban, bahkan dijadikan panggung politik dan ajang mencari uang oleh oknum-oknum yang ada di dalamnya.
SUDAH saatnya setiap warga negara peduli, bergandengan tangan, bahu-membahu, saling mendukung, bersimpati dan berempati terhadap setiap orang yang berjuang memberantas ketidakadilan, menghapus kekerasan, dan menghuilangkan pembungkaman kebenaran. Setiap warga negara harus menjunjung tinggi kemanusiaan dan menjadikan Tuhan sebagai penguasa atas hidup dan mati seseorang. Setiap orang tidak boleh melampaui dan merebut hak Tuhan. Mari setiap Ibu menjadi babon-babon yang melindungi anaknya dari kekerasan dan kekejaman, karena ibu adalah perempuan sebagai pemilik dan yang mbaureksa kehidupan. (*)