Berita Utama

[News][bleft]

Sari Berita

[Sekilas][twocolumns]

KARTINI MENANGIS: KEMUNDURAN PEREMPUAN INDONESIA



Oleh : Agnes Adhani *)
   KETIKA selesai mengajar siang kemarin notifikasi WA penulis berbunyi menandakan ada pesan masuk. Ternyata dari putraku yang mengirim gambar tentang RUU Ketahanan Keluarga sebagai RUU inisiatif DPR (Hj. Ledia Hanifa, PKS, Hj. Netty Prasetiyani, PKS, H. Sodik Mudjahid, Gerindra, M. Ali Taher, PAN, dan Hj. Endang Maria Astuti, Golkar).
     Salah satu yang menggelitik dari RUU ini adalah istri bertugas mengurus rumah tangga dan suami. Istri kembali ke kandang untuk urusan domestik. Ungkapan putraku yang menohok adalah ”istri urus keluarga dan suami, sing ngusulke wedok, siap mundur ko DPR? Wkwkwkwk” ’istri bertugas mengurus keluarga dan suami, yang mengusulkan perempuan, siap turun dari DPR?’
    Kaget juga penulis memikirkan pola pikir ketiga ibu anggota DPR yang terhormat ini. Sudahkan ketiga Ibu ini merenung lebih dalam bahwa beliau sedang menelikung dirinya sendiri? Maksud hati memeluk gunung apa daya tangannya menjadi buntung ’maksud hati menjadi populer dan terhormat apa daya pikiran cupet dan meloncat mundur, atret’.
    Semalaman penulis merenungkan hal ini. Untuk merintang-rintang waktu sebelum tidur, penulis membuka buku yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Buku ini mengungkap kecerdasan gadis dua belas tahun ya 12 tahun yang lulus SD lebih dari 120 tahun yang lalu. Anak kecil ini begitu peduli melihat perempuan yang terkurung dan terkungkung oleh budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan di ranah domestik, sekitar sumur, dapur, kasur dengan harus pasrah, sumarah, nrima, tunduk, patuh, tuhu, bekti kepada orang tua dan suami setelah menikah. Perempuan tidak ada pilihan lain, selain menerima nasib tunggal menjadi istri dan ibu yang berperan sebagai babu. Ada ungkapan awan jadi theklek bengi jadi lemek ’siang jadi alas kaki, malam jadi alas tidur’. Menerima nasib mendapatkan suami seperti membeli kucing dalam karung. Terima nasib sebagai kodrat.
    Berkeluarga atau menikah adalah kehendak bebas dua orang lelaki dan perempuan yang seharusnya dewasa, siap secara fisik, psikis, ekonomis, sosial, religius, hukum, dan bertanggungjawab dalam melaksanakan sunah: membina keluarga sakinah, mawadah, dan warohmah. Modal ini yang harus dikuatkan, agar keluarga memiliki ketahanan. Sebagai analogi sebuah rumah akan kuat harus dibangun dengan pondasi yang kuat, bukan tiangnya yang dikurangi. Tiang bangunan keluarga adalah suami dan istri yang sejajar dan setara dan pondasinya adalah suami dan istri yang dewasa, merdeka, dan beriman. 
     Ketahanan keluarga tidak bisa dibentuk hanya dengan peran lelaki dan perempuan seperti pada zaman prasejarah. Penguatan keluarga bisa dilakukan sejak kursus pranikah dengan pelajaran calon pengantin dan memberi bekal pengetahuan, pemahaman tentang hidup dan kehidupan termasuk nilai religius untuk secara matang mengambil keputusan untuk membina keluarga.
    Apakah dengan mengembalikan para perempuan ke ranah domestik bisa mengurangi atau meniadakan kasus perceraian? Beberapa kasus perceraian justru terjadi karena masalah ekonomi.
     Suami yang diamanahkan dalam Undang-Undang Perkawinan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga tidak mampu melaksanakan tugasnya memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dengan ditopang oleh penghasilan istri, masih banyak keluarga yang ”kurang mapan”, bagaimana kalau istri hanya cukup nyadhong jatah nafkah dari suami?
     Ketika penulis masih kecil, sering mendengar lelaki memarahi istrinya ”istri tidak bekerja, cuma bisa menghabiskan uang, perempuan tidak berguna”, diikuti piring terbang dan bunyi tamparan serta jerit tertahan. Hal ini membuat penulis berkeputusan untuk menjadi perempuan bekerja, perempuan karier. Seorang perempuan dewasa yang merdeka tidak harus memilih menjadi ibu rumah tangga atau perempuan karier, perempuan bisa memilih keduanya. Pilihan itu bukan pilihan mati atau hidup. Yang harus dipilih salah satu. Peran ganda perempuan yang diindoktrinasikan selama tiga puluh tahun lebih pada masa lalu kami terima dengan pengabdian penuh. Dua puluh tahun lebih perempuan dan para pejuang perempuan berupaya menjadi berdaya akan kembali diperdaya. Tragis.
     Menilik RUU yang ditawarkan oleh tiga ibu anggota DPR yang terhormat yang
kelihatannya keblinger, penulis menyatakan diri tidak setuju. Tolak RUU Ketahanan Keluarga versi kelima anggota DPR tersebut. Mari para perempuan yang bernalar, cerdas, merdeka, namun tetap cantik dan lembut, kita berjuang menentukan nasib kita sendiri. Hanya lewat tangan sendiri (swasta) perempuan menentukan nasibnya, menjadi perempuan yang merdeka dan mandiri tanpa melupakan kodrat. (*)
*) Dra. Agnes Adhani, M.Hum
d.a : agnes.adhani@widyamandala.ac.id

IKLAN

Recent-Post